Nature potTrack kembali menghimpun keluarga-keluarga pecinta alam di Semarang untuk terjun menanam mangrove di Pulau Tirang!
Pulau Tirang adalah daratan kecil di tengah kawasan perairan Dukuh Tapak, Kecamatan Tugu, Semarang. Tanggal 18 Mei 2014 lalu, di sore hari, enam keluarga berkumpul lagi di lokasi itu untuk menanam 900 benih mangrove.
Mengapa dibilang “berkumpul lagi”? Karena enam keluarga ini semuanya adalah alumni Lokakarya Pelestarian Alam “Mangrove for the Future!” bulan November 2013. Yang pasti, Lokakarya meninggalkan kesan mendalam bagi seluruh pesertanya. Setelah makin sadar akan gentingnya isyu deforestasi dan pentingnya pelestarian mangrove bagi kawasan pesisir, ada keinginan yang kuat untuk terjun lagi menanam mangrove. Di sisi lain, masih ada banyak titipan benih dari program Donasi Hijau yang harus kami tanam. Sayangnya, beberapa keluarga alumni lain berhalangan pada hari tersebut tidak dapat bergabung.
Awalnya, kami mau membuka kesempatan bagi masyarakat umum untuk berpartisipasi, seperti Lokakarya. Tapi setelah ditimbang-timbang, menurut kami, terjun ke lapangan tanpa dilengkapi pengetahuan dasar soal isyu mangrove tidaklah ideal. Kegiatan menanam mangrove mestinya bisa lebih dari sekadar fieldtrip yang menghibur atau penunaian kewajiban CSR perusahaan. Menanam mangrove itu memang asyik dan, jika diliput media, mengangkat prestis institusi, tetapi apakah para peserta penanaman itu di kehidupan sehari-harinya akan sadar betul pentingnya mangrove, serta terbeban untuk ikut menyosialisasikan serta menggalang dukungan untuk pelestarian tanaman ini? Itu yang menurut kami penting.
Jadi, dilandasi idealisme bahwa peserta yang terjun adalah peserta yang telah teredukasi, akhirnya ditetapkan bahwa kegiatan tanam mangrove sesi kedua ini hanya terbuka bagi alumni Lokakarya yang notabene sudah ikut sesi edukasi.
Mengapa dibilang “berkumpul lagi”? Karena enam keluarga ini semuanya adalah alumni Lokakarya Pelestarian Alam “Mangrove for the Future!” bulan November 2013. Yang pasti, Lokakarya meninggalkan kesan mendalam bagi seluruh pesertanya. Setelah makin sadar akan gentingnya isyu deforestasi dan pentingnya pelestarian mangrove bagi kawasan pesisir, ada keinginan yang kuat untuk terjun lagi menanam mangrove. Di sisi lain, masih ada banyak titipan benih dari program Donasi Hijau yang harus kami tanam. Sayangnya, beberapa keluarga alumni lain berhalangan pada hari tersebut tidak dapat bergabung.
Awalnya, kami mau membuka kesempatan bagi masyarakat umum untuk berpartisipasi, seperti Lokakarya. Tapi setelah ditimbang-timbang, menurut kami, terjun ke lapangan tanpa dilengkapi pengetahuan dasar soal isyu mangrove tidaklah ideal. Kegiatan menanam mangrove mestinya bisa lebih dari sekadar fieldtrip yang menghibur atau penunaian kewajiban CSR perusahaan. Menanam mangrove itu memang asyik dan, jika diliput media, mengangkat prestis institusi, tetapi apakah para peserta penanaman itu di kehidupan sehari-harinya akan sadar betul pentingnya mangrove, serta terbeban untuk ikut menyosialisasikan serta menggalang dukungan untuk pelestarian tanaman ini? Itu yang menurut kami penting.
Jadi, dilandasi idealisme bahwa peserta yang terjun adalah peserta yang telah teredukasi, akhirnya ditetapkan bahwa kegiatan tanam mangrove sesi kedua ini hanya terbuka bagi alumni Lokakarya yang notabene sudah ikut sesi edukasi.
Berkumpul di meeting point Taman Lele Ngaliyan, kami lalu konvoi ke utara menuju Dukuh Tapak. Sesampainya di sana, kami disambut oleh tim Prenjak Tapak, organisasi pelestari mangrove yang didirikan oleh para pemuda dukuh tersebut. Setelah perkenalan singkat, dimulailah perjalanan menuju dermaga. Kami mengayunkan langkah menyusuri jalanan dukuh yang kanan kirinya dijadikan tambak. Rupanya anak-anak masih ingat pelajaran mereka di sesi edukasi Lokakarya. “Itu akar pensil!” “Itu akar nafas!” seru mereka menunjuk-nunjuk, sementara peserta dewasa juga berusaha membongkar ingatan lagi, yang mana tanaman rhizopora, yang mana avicennia.
Di tengah jalan sempat ada jeda di suatu lokasi, ketika Mas Arifin dari Prenjak bercerita bagaimana lokasi itu dulunya sangat gersang dan tercemar. Kepiting-kepiting pun tak ada yang bisa bertahan hidup. Namun, setelah ditanami mangrove beberapa tahun, akhirnya kawasan itu hijau kembali. Kepiting dan satwa lainnya berkembang biak dengan pesat di sana. Di lokasi itu kini dikembangkan sentra pembudidayaan bibit mangrove.
Selama berjalan, terlihat banyak sepeda motor melintas atau terparkir. Orang-orang berseliweran membawa tongkat pancing. Banyak juga yang sudah duduk di tepian air dengan kaleng berisi umpan di sampingnya. Di dalam air, anak-anak mengamati, berenang meliuk-liuk banyak cacing merah menyala yang badannya berumbai. Ketika iseng melongok ke kaleng umpan, ternyata isinya cacing-cacing seperti itu.
Di tengah jalan sempat ada jeda di suatu lokasi, ketika Mas Arifin dari Prenjak bercerita bagaimana lokasi itu dulunya sangat gersang dan tercemar. Kepiting-kepiting pun tak ada yang bisa bertahan hidup. Namun, setelah ditanami mangrove beberapa tahun, akhirnya kawasan itu hijau kembali. Kepiting dan satwa lainnya berkembang biak dengan pesat di sana. Di lokasi itu kini dikembangkan sentra pembudidayaan bibit mangrove.
Selama berjalan, terlihat banyak sepeda motor melintas atau terparkir. Orang-orang berseliweran membawa tongkat pancing. Banyak juga yang sudah duduk di tepian air dengan kaleng berisi umpan di sampingnya. Di dalam air, anak-anak mengamati, berenang meliuk-liuk banyak cacing merah menyala yang badannya berumbai. Ketika iseng melongok ke kaleng umpan, ternyata isinya cacing-cacing seperti itu.
Hal lain yang kami amati, ada patok-patok yang ditancapkan ke tanah sepanjang pematang tambak. Gali-gali cerita dari tim Prenjak, rupanya sedang terjadi konflik kepentingan di kawasan ini. Ada upaya mengubah peruntukannya menjadi kawasan industri. Konon tambak-tambak akan dilenyapkan, lalu dibangun wahana wisata air (waterboom) oleh pihak swasta. Konon lagi, pihak pemerintah kota Semarang juga merestui rencana tersebut. Warga menjadi gelisah. “Kami sedang berjuang agar hal itu tidak terjadi." kata salah satu anggota tim. “Dari generasi ke generasi, hidup kami tergantung di sini, kalau lokasi ini dijadikan kawasan industri, paling-paling kami akan menjadi buruh.” Sedih! Lalu terpikir, berapa banyak masyarakat Semarang yang tahu bahwa ada kawasan konservasi mangrove yang terancam musnah di kotanya sendiri? Kita semua mesti bantu mengkampanyekan penyelamatannya.
Sekitar lima belas menit jalan kaki, sampailah kami di dermaga kecil. Telah menunggu tiga buah sampan bermotor. Oleh tim Prenjak, kami diberi life-jacket, kemudian berangkatlah satu per satu sampan menuju Pulau Tirang. Pemandangannya beda sekali dengan waktu perjalanan menanam mangrove di Bedono. Bukannya melaju di laut bebas, di antara pulau-pulau, kali ini kami seperti melewati terowongan mangrove. Pohon-pohon avicennia dan rhizopora rimbun tumbuh di kiri dan kanan, cabangnya melebar dan saling bertemu, menjadi atap di atas kepala kami. “Wow! Seperti penjelajahan dari satu negeri dongeng ke negeri dongeng yang lain.” celetuk Calla (11 tahun) terpesona.
Kami diajak berputar dulu melihat-lihat kawasan tambak yang luas, baru sampan melaju ke Pulau Tirang. Pulau yang kecil dan gersang, tapi di tepian sana-sininya terlihat tunas mangrove berjajar rapi, hasil berbagai kegiatan penanaman mangrove yang didampingi Prenjak sebelumnya. Sampan melambat, lalu berlabuh di tepian. Kami mencebur turun ke air. Ya, air, bukan tanah berlumpur seperti di Bedono. Ini membuat kami jauh lebih mudah bergerak.
Setumpuk bibit rhizopora telah tersedia di pantai. Tim Prenjak memberi arahan cara menanamnya. Kami perlu diberi instruksi, sebab bibit ini bukan berbentuk propagul yang tinggal tancap seperti waktu di Bedono dulu, melainkan tunas yang sudah berakar. Akarnya berada dalam polibag hitam. Ternyata meski sudah diberi instruksi, awalnya kami tetap banyak yang salah, mencopot plastik hitam polybag, sehingga tanah yang melindungi akar mangrove malah luruh disapu air. “Jangan begitu,” kata tim Prenjak, “Lebih baik tanamkan langsung se-polybag-nya ke tanah, karena akar masih perlu beradaptasi dan jika nanti sudah membesar, kantong polybag itu dengan sendirinya akan kalah juga ditembus akar.”
Sudah sekitar jam setengah empat sore waktu kami mulai menanam. Waktunya tidak banyak, karena begitu matahari terbenam, kami akan balik ke dermaga. Berpaculah kami dengan waktu. Gali tanah sampai kedalaman sekitar 15cm, masukkan polybag, tancapkan bilah bambu penyangga, lalu ikat batang rhizopora ke bambu. Ada yang mengerjakan semuanya sendiri, ada yang bekerja sama bagi tugas. Anak-anak yang agak besar tampak bisa berkonsentrasi menanam mangrove, sementara adik-adik mereka yang lebih kecil memilih bermain dan berenang di perairan yang dangkal itu. Selama itu, kami juga mendapatkan tambahan pertunjukan gratis menarik dari beberapa pesawat yang melintas dekat sekali di atas kami, baru saja lepas landas atau mau mendarat di bandara A Yani.
Sudah sekitar jam setengah empat sore waktu kami mulai menanam. Waktunya tidak banyak, karena begitu matahari terbenam, kami akan balik ke dermaga. Berpaculah kami dengan waktu. Gali tanah sampai kedalaman sekitar 15cm, masukkan polybag, tancapkan bilah bambu penyangga, lalu ikat batang rhizopora ke bambu. Ada yang mengerjakan semuanya sendiri, ada yang bekerja sama bagi tugas. Anak-anak yang agak besar tampak bisa berkonsentrasi menanam mangrove, sementara adik-adik mereka yang lebih kecil memilih bermain dan berenang di perairan yang dangkal itu. Selama itu, kami juga mendapatkan tambahan pertunjukan gratis menarik dari beberapa pesawat yang melintas dekat sekali di atas kami, baru saja lepas landas atau mau mendarat di bandara A Yani.
Saking asyiknya, tak terasa dua jam berlalu. Matahari makin condong ke barat. Sesi tanam pun kami hentikan, karena harus bersiap-siap untuk pulang. Memang belum semuanya tertanam (pagi berikutnya bibit yang tersisa akan ditanamkan oleh tim Prenjak), tapi semua bangga melihat ratusan bibit mangrove yang telah berhasil tertanam dalam barisan cukup rapi di sepanjang pantai. Kebanggaan juga yang dirasakan oleh salah satu peserta anak, Arga (8 tahun), hingga berseru, “Aku tadi menanam 35 bibit sendiri!” Tentunya, kami berfoto ria dulu bersama hasil karya kami itu!
Mentas dari pantai, anak-anak ganti baju, lalu kami semua piknik bersama. Potluck, tiap keluarga mengeluarkan bekal makanan masing-masing, kemudian disantap beramai-ramai. Nyam! Makanan yang banyak sekali itu ternyata hampir ludes juga dilahap. Rupanya baik orang dewasa maupun anak-anak sama kelaparan, setelah energi dihabiskan bertanam dan berenang.
Langit sudah gelap waktu sampan kami bertolak kembali ke dermaga. Pas masuk jalur terowongan mangrove, gelap itu makin menjadi-jadi. Beberapa peserta agak gugup, takut ada ular atau binatang berbahaya. Senter-senter dinyalakan. Waktu disorotkan ke kiri kanan, tampak kepiting yang suangaaaaaat banyak. “Aneh ya, kepiting itu kayaknya nggak takut lagi dengan manusia, padahal siangnya begitu diganggu sedikit, langsung mumpet!” komentar Aity, salah seorang ibu.
Tapi sebenarnya kami tidak perlu khawatir berlebihan, karena para bapak sampan yang profesinya nelayan, sudah biasa berperahu malam hari di perairan tersebut dan seringkalipun hanya mengandalkan cahaya langit dan refleksinya di air untuk menentukan arah. Ya, berperahu di keheningan dan gelapnya hutan mangrove sudah memberikan kami, si orang kota pengalaman dengan sensasi baru.
Tapi sebenarnya kami tidak perlu khawatir berlebihan, karena para bapak sampan yang profesinya nelayan, sudah biasa berperahu malam hari di perairan tersebut dan seringkalipun hanya mengandalkan cahaya langit dan refleksinya di air untuk menentukan arah. Ya, berperahu di keheningan dan gelapnya hutan mangrove sudah memberikan kami, si orang kota pengalaman dengan sensasi baru.
Sampai di dermaga, tim Prenjak memboncengkan kami dengan motor untuk bolak-balik mengantar kami sebagian demi sebagian ke tempat parkir. Meskipun capek, semua tampak senang, apalagi anak-anak. Belum lagi pulang, Vima (7) dan Gandhi (5) sudah menuntut, “Kapan-kapan kita mangrove lagi ya!” Hahaha, oke, Nak! Pengalaman di alam serunya memang bikin ketagihan.
Terima kasih atas partisipasi semuanya.
Terima kasih juga untuk tim Prenjak yang sangat ramah dan kekeluargaan.
Sayonara! Sayonara!
Sampai jumpa di kegiatan potTrack berikutnya.
Terima kasih juga untuk tim Prenjak yang sangat ramah dan kekeluargaan.
Sayonara! Sayonara!
Sampai jumpa di kegiatan potTrack berikutnya.
" Let Nature be Our Teacher ! "
- William Wordsworth
- William Wordsworth