dengan ketulusan hati kami
untuk hadir didalamnya,
belajar darinya,
menerima berkahnya
dan hidup selaras dengannya.
untuk hadir didalamnya,
belajar darinya,
menerima berkahnya
dan hidup selaras dengannya.
Action speaks louder than words, tindakan bicara lebih keras ketimbang ucapan. Begitu bunyi pepatah bijak dari negeri seberang. Sebab betapa seringnya orang cuma bisa omong: sayangi bumi, sayangi bumi, tetapi aksinya sama sekali tidak ada. Sampah tetap dibuang sembarangan. Kantong plastik dipakai berlebihan. Menghamburkan tisyu, kertas, popok sekali pakai, dan berbagai produk hasil menebang pohon lainnya tanpa pikir panjang.
Hampir 50 orang dari dua belas keluarga berhimpun di hari pertama Aksi Reflektif “Bahagia Bersama Bumi” yang digelar potTrack tanggal 16-17 Agustus 2015 lalu untuk beraksi nyata, menanam mangrove di pesisir pantai Semarang yang wilayahnya terus dilanda rob dan isyu reklamasi. Ada 818 bibit yang akan kami tanam hari ini – 418 dari tabungan program oneTrack oneTree (oToT) potTrack, 100 dari donasi perorangan dan 300 lagi dari para peserta.
Dalam dua ruang kelas TK Ra-Madin Alhidayah, anak dan dewasa dikelompokkan di kelas terpisah, panitia dan kawan dari Prenjak memberi briefing singkat mengenai serba-serbi mangrove serta penanamannya nanti. Para peserta dibagi-bagi ke dalam beberapa kelompok warna slayer.
Dalam dua ruang kelas TK Ra-Madin Alhidayah, anak dan dewasa dikelompokkan di kelas terpisah, panitia dan kawan dari Prenjak memberi briefing singkat mengenai serba-serbi mangrove serta penanamannya nanti. Para peserta dibagi-bagi ke dalam beberapa kelompok warna slayer.
Dari parkiran mobil, kami berjalan menyusuri tepian tambak – sambil lihat kiri-kanan: mengobrolkan pohon tak berdaun yang cantik menjulang, akar pensil mangrove mencuat di sana-sini, propagul mangrove bergelantungan di pohonnya. Kami menghirup bau segar ikan yang baru saja dipanen dari tambak dan amisnya tanah yang diserok dari dalamnya lalu ditumpuk jadi gunungan lumpur (awas, jangan sampai kejeblos menginjaknya!). Anak-anak dengan percaya diri meniti jembatan bilah kayu yang sempit, yang merentang di antara saluran air. Sampai akhirnya kami melangkah masuk satu per satu ke dalam perahu kayu bermesin.
Melaju sepanjang sungai yang dinaungi rimbun pepohonan mangrove bagai terowongan sungguh bikin bahagia. Sepertinya tak ada yang tak tersenyum. Enny, ibu dari Colin dan Dylan, yang sehari-hari bermukim di Jerman berkomentar, “Rasanya seperti di sungai Amazon ya!” – dia sendiri belum pernah ke Amazon, tapi yang biasanya cuma dilihat di televisi sekarang terasa nyata. Anak-anak riang. Bahkan Jernih yang belum berumur 1 tahun pun asyik menunjuk sana-sini; juga Nesha yang baru 5 bulan, terpukau pada kilau riak-riak air yang dilewati perahunya.
Sekitar 20 menit kemudian, rombongan tiba di Pulau Tirang. Kaki-kaki melangkah di jalan setapak hingga tiba di semacam teluk. Air laut menjorok masuk memanjang ke tengah pulau. Panitia kembali mengingatkan agar tetap memakai alas kaki. Berjaga-jaga jangan sampai ada yang terluka, siapa tahu ada sampah pecahan beling. “Sampah yang kita lihat ini, bisa jadi sampah kita sendiri, lho!” kata Fifi seraya menunjukkan botol kaca bekas yang terdampar di pulau itu. Ya, dengan kondisi penampungan sampah kita dan sistem pengelolaannya yang masih terbatas dan tidak memadai membuat sampah kita mendarat dimana-mana, terutama di laut dan pantai-pantainya. Jadi semakin banyak kita membeli barang, semakin banyak pulalah sampah kita yang berserakan.
Sementara menunggu bibit mangrove diantar naik perahu tersendiri, anak-anak sudah tak sabar ingin mencebur. Para veteran kecil yang dulu ikut menanam di “Mangrove for the Future” sudah menganggap muara itu seolah kolam renang mereka sendiri. Anak-anak lain pun sebagian besar tak ragu ikut nyemplung. Hanya 1-2 anak yang awalnya ragu masuk ke air. Coklat berlumpur, memang beda sekali dengan air kolam renang. Tapi tak lama kemudian, mereka akhirnya terlihat sudah asyik juga berenang-renang ke sana kemari bersama teman-temannya.
“George mencincinkan celananya, tidak ingin celananya kena air berlumpur. Saya tarik dia sampai masuk lumpur. Lalu dia merasakan kenikmatan bermain lumpur. Lain dengan James, minta gendong karena dia belum mahir berenang. Saya gendong dan saya bawa ke tengah lumpur. Saya jongkok, dan sekujur tubuhnya pun terendam air berlumpur, hahahaha ...” kisah Peter tentang perilaku kedua anaknya. “Setelah tahu bahwa rawa ini sangat dangkal, barulah dia main lumpur tanpa digendong bersama teman yang lain.”
“Ayo, semua anak harus ikut menanam! Tanam bibit paling tidak sesuai jumlah umur masing-masing!” seru Panitia.Semua orang pun mulai sibuk. Gali pasir dengan sekop, dengan tangan, dengan bilah bambu. Sobek bagian bawah polibag bibit, lalu masukkan ke galian. Tutup dengan pasir lagi. Tancapkan bambu penopang di dekatnya. Tanam bibit berikutnya dalam jarak 30-40 cm. Satu jam berlalu, tampak bibit mangrove hasil tanam anak-anak maupun orang dewasa rapi berbaris di sepanjang pantai muara.
“Benar-benar acara yang menyenangkan!”
komentar Rini, ibu dari Jernih (11 bulan).
“Membuat anak belajar langsung dari alam, bukan teoritis,”
tambah Dina, ibu dari Efraim (7).
komentar Rini, ibu dari Jernih (11 bulan).
“Membuat anak belajar langsung dari alam, bukan teoritis,”
tambah Dina, ibu dari Efraim (7).
Waktu terus berjalan. Matahari mulai surut. Mumpung belum gelap, “Ayo sini, kita berfoto dulu!”. Wah, sulit ternyata meminta anak-anak berkumpul karena mereka betul-betul asyik main dan bercanda di air. “Anak saya senang sekali karena bisa bermain dengan teman yang banyak, biasanya di rumah bermain bertiga saja dengan sepupunya, sekarang berbanyak-banyak,” komentar Erwin, ayah dari Tiffany (9).
“This is real, not virtual. Perahunya asli, bukan virtual. Muara sungainya asli, bukan virtual. Bau amis ikan yang sedang dipanen asli, bukan virtual. Eh, kayaknya belum ada virtual bau amis ya? Hehehe ... This is amazing. Saat ini bagi saya, real is amazing,” demikian kesan Peter, seperti kemudian dia tulis di dinding akun fb-nya.
Seusai foto bersama, semua bekal makanan dikumpulkan, potluck digelar. Nyam! Memang tak ada yang mengalahkan nikmatnya bersantap dalam keriangan persahabatan, dengan bumbu rasa lapar karena lelah bekerja fisik, plus segarnya udara dan suasana alami, diiringi suara debur ombak laut lepas pula. Kudapan-kudapan sederhana macam pisang rebus, ubi rebus, donat kampung, jadah pun serasa makanan mewah!
Yang lapar sudah kenyang. Yang kotor sudah salin baju. Gelap pun mulai cepat merayap. Kami kembali berjalan kaki menuju perahu yang menunggu di pantai. Berayun-ayun di air tenang di tengah keremangan senja dan sedikit sinar bulan, magis rasanya. Ada rasa gatal di kaki oleh datangnya nyamuk muara. Namun kegembiraan aksi hari ini tetap menyertai sampai kami kembali ke parkiran mobil untuk pulang ke rumah masing-masing. Istirahat nyenyak, mengendapkan semua pengalaman hari ini untuk berefleksi keesokan harinya.