Tinggal di Semarang, tapi ternyata hanya sedikit tahu tentang kawasan pesisir. Itulah perasaan yang muncul ketika mengikuti Lokakarya Pelestarian Alam untuk Keluarga “Mangrove for the Future” tanggal 23-24 November 2013 lalu. Diselenggarakan oleh Nature potTrack bekerjasama dengan SOS Children’s Villages Semarang dan Kelompok Studi Ekosistem Mangrove (KeSEMaT) Universitas Diponegoro, lokakarya ini terbagi menjadi dua babak pada hari yang berbeda, yakni kelas edukasi (Sabtu sore) dan aksi menanam mangrove (Minggu pagi). Sesuai namanya dan misi Nature potTrack untuk menghadirkan kembali keluarga di alam, seluruh rangkaian kegiatan dirancang agar nyaman diikuti baik oleh peserta dewasa maupun anak.
Bertempat di kompleks SOS Children’s Villages Jl. Durian Km. 1 Banyumanik Semarang, kelas edukasi tentang serba-serbi mangrove kelas dewasa dan anak dilaksanakan di dua aula yang berbeda secara paralel. Sebelum kelas dibuka, peserta lebih dahulu bercengkerama dan menikmati kudapan ringan di pendapa SOS yang sejuk. Anak-anak juga asyik berlarian dan bermain bersama di pekarangan luas SOS yang dilengkapi berbagai fasilitas bermain.
Bertempat di kompleks SOS Children’s Villages Jl. Durian Km. 1 Banyumanik Semarang, kelas edukasi tentang serba-serbi mangrove kelas dewasa dan anak dilaksanakan di dua aula yang berbeda secara paralel. Sebelum kelas dibuka, peserta lebih dahulu bercengkerama dan menikmati kudapan ringan di pendapa SOS yang sejuk. Anak-anak juga asyik berlarian dan bermain bersama di pekarangan luas SOS yang dilengkapi berbagai fasilitas bermain.
Kelas Dewasa dibuka pukul 15 WIB dengan perkenalan visi-misi Nature potTrack sebagai organisasi nirlaba keluarga-keluarga pecinta alam. Setelah itu, Sapto, pemateri dari KeSEMaT, langsung memaparkan pengetahuan mengenai ragam mangrove, manfaatnya yang sangat banyak, serta cara membudidayakannya. Dibahas juga isyu-isyu lingkungan lokal, seperti sebab-musabab fenomena rob, abrasi di satu daerah juga penambahan garis pantai di daerah lain berikut potensi konflik yang dimunculkannya, serta bagaimana pelestarian mangrove bisa membantu mengatasi problem-problem tersebut. Tanya jawab berlangsung cukup seru. “Saya belum tahu sama sekali soal ini semua,” aku Thay, ayah dua anak yang tekun menyimak penjelasan KeSEMaT.
Sementara itu, anak-anak di kelas terpisah juga belajar di bawah bimbingan Kak Kamto dkk mengenai ciri-ciri tanaman mangrove dan serba-serbinya, kemudian beraktivitas membuat miniatur ekosistem mangrove dari playdough warna-warni dan latihan drama pendek tentang pelestarian mangrove. Drama ini selanjutnya ditampilkan di pendapa SOS, ditonton oleh orangtua mereka yang tadi ikut kelas dewasa. Orangtua merasa senang melihat anak-anak yang semula masih asing satu sama lain kini telah akrab membaur, bahkan di waktu jeda antar kelas, mereka asyik bermain bebas bersama. Rangkaian kegiatan kelas edukasi berakhir sekitar pukul 18 WIB.
Esok harinya, Minggu tanggal 24 November 2013, pagi-pagi sekali para peserta berkumpul di muka gerbang Universitas Sultan Agung (UNISULA) untuk konvoi ke Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Dari tempat parkir mobil, kami berjalan kaki menyusuri kampung dan jembatan. Selama perjalanan, terdengar anak-anak berseru sambil menunjuk-nunjuk, “Itu akar pensil! Itu akar tunjang!” ketika melewati rumpun mangrove yang tumbuh di kanan-kiri mereka. Kami juga belajar mengenali langsung jenis-jenis mangrove (bukan hanya bakau!) sekaligus jenis binatang khas di daerah itu: ikan glodok, ular, kepiting ungu, dan lain-lain. Ratusan (atau mungkin ribuan) burung pantai hidup di sana, berseliweran di langit, bersarang di pepohonan, berkaok-kaok ribut. Mengesankan!
Sisi sedihnya: KeSEMaT menjelaskan sejarah satu dukuh di daerah itu yang tenggelam total akibat naiknya permukaan air laut dan menurunnya tanah. Perkampungan itu sekarang ada di dasar air, di bawah jembatan yang kami tapaki. Tenggelamnya dukuh ini menjadi perhatian dunia sebagai contoh ekstrem kerusakan lingkungan. Kami juga prihatin melihat banyaknya sampah yang menyangkut di akar-akar mangrove. Ini sampah bukan hanya yang dibuang orang lokal, tapi gabungan ‘sampah kiriman’ yang dibuah masyarakat yang tinggal di hulu. Meski berada di Demak, warga Semarang turut bertanggung jawab atas menumpuknya sampah ini. Padahal, jelas KeSEMaT, kalau sampah menutupi akar nafasnya, tanaman mangrove bisa mati.
Rombongan berangkat ke titik penanaman mangrove dengan menaiki empat perahu dalam dua kloter. Setiap kloter memiliki pengalaman serunya sendiri-sendiri. Selagi perahu melaju, para peserta berbincang mengenai mangrove. Ketika melihat sejumlah mangrove mengering di tepi pantai, muncul komentar bahwa itu pasti karena terendam terus oleh air laut. Mereka ingat penjelasan KeSEMaT bahwa untuk tumbuh subur, mangrove butuh air yang pasang surut, dan rendaman air terus-menerus akan membuat umurnya pendek. “Wah, kita jadi tambah pintar ya,” komentar Rixi, salah satu peserta dewasa yang ikut bersama seorang anaknya.
Saat mencebur turun dari perahu ke lokasi, wow! Rupanya seperti itu tho rasanya berdiri di dalam tanah lumpur, bagai menginjak bubur yang sangat dalam. Namun dengan cepat orang dewasa maupun anak-anak belajar bergerak secara efektif, bukan dengan berjalan tegak seperti biasa, tapi meluncur sambil duduk atau setengah berenang. Semua bergembira mandi lumpur, sembari menancapkan benih bakau berbaris-baris. Anak-anak menangkapi kerang dan kepiting. Ada juga teripang dan banyak sekali ikan glodok yang muka dan matanya seperti kodok, tapi ekornya mirip kecebong, dan bisa ‘berjalan’ di darat (seolah-olah saja, karena itu bukan kaki, melainkan sirip yang sangat kuat). Total 500 benih Rhizopora tertanam hari itu.
Pulang dari menanam bakau, anak-anak masih lanjut bersenang-senang dengan bermain di pantai Morosari. Dengan berat hati mereka meninggalkan istana pasir dan air yang asin untuk bebersih diri di kamar mandi lalu makan siang. “Acaranya seru banget dan anak-anak sangat menikmati. Ayo bergabung bersama kami!”, ajakan Iva kepada teman-temannya, setelah acara berakhir.
Pulang dari menanam bakau, anak-anak masih lanjut bersenang-senang dengan bermain di pantai Morosari. Dengan berat hati mereka meninggalkan istana pasir dan air yang asin untuk bebersih diri di kamar mandi lalu makan siang. “Acaranya seru banget dan anak-anak sangat menikmati. Ayo bergabung bersama kami!”, ajakan Iva kepada teman-temannya, setelah acara berakhir.
“...baru tahu bahwa mangrove terdiri dari 62 spesies dan bakau salah satu di antaranya. Acara yang sangat edukatif dan inspiratif.” - Don, ayah dari 3 anak yang sudah cukup sering mengikuti acara penanaman mangrove di instansi tempat kerjanya.
“Acara yang sangat bagus dan penting untuk anak-anak ...dan orang dewasa juga.
Pasti ikut untuk acara-acara potTrack berikut!” – Asih, ibu dari 2 anak
“Acara yang sangat bagus dan penting untuk anak-anak ...dan orang dewasa juga.
Pasti ikut untuk acara-acara potTrack berikut!” – Asih, ibu dari 2 anak
“Our challenge isn’t so much to teach children about the natural world, but to find ways
to nurture and sustain the instinctive connections they already carry.”-T. Krautwurst
to nurture and sustain the instinctive connections they already carry.”-T. Krautwurst
see you again in nature,
potTrack
potTrack