"...Berkeras hati minta digendong atau memilih bergelayutan atau berdiri di atas sesuatu yang lain daripada menginjakan kakinya yang mungil di lantai rumah." Segala aksi dari putra kami yang saat itu berumur 2 tahun 3 bulan, ketika melihat para semut berkeliaran di lantai rumah sesaat kami baru pulang dari Eropa. Tiga bulan saja kami absen dari rumah dan secepat itu pula dia tidak terbiasa dengan kondisi tersebut. Memang juga, selama kami di Eropa yang saat itu sedang memasuki musim dingin, kami jarang sekali menemui serangga. Dan diperlukan 3 hari untuk membiasakan kembali dirinya.
"...Sudah terlihat beberapa semut dan satu dua cicak berkeliaran." Terdengar keluhan dari seorang saudara kami yang baru saja menempati rumah barunya yang dibangun dengan dinding dan lantai sekokoh dan sekompak mungkin.
Teriakan histeris terdengar dari putri kami yang sedang mencuci tangannya dan melihat dengan sudut matanya seekor tokek ukuran sedang, berada sekitar jarak 30 cm persis di belakang kepalanya. Sesaat kemudian, kami hanya bisa melongo dan terkagum-kagum, ketika seorang bapak pekerja kami mengelus kepala tokek tersebut, mencengkram rahangnya dengan gerakan cepat dan memindahkannya diiringi suara desisan keras tokek ke lahan kosong sebelah. Dan dengan santainya berkata, "Dipindahkan saja...kurus...kasihan, kekurangan makanan dia disini". Beliau bukan orang desa, tinggal di sebuah rumah kecil di linkungan padat, tapi seringkali terlihat begitu nyaman dengan alam sekitar dan segala penghuninya.
"...Sudah terlihat beberapa semut dan satu dua cicak berkeliaran." Terdengar keluhan dari seorang saudara kami yang baru saja menempati rumah barunya yang dibangun dengan dinding dan lantai sekokoh dan sekompak mungkin.
Teriakan histeris terdengar dari putri kami yang sedang mencuci tangannya dan melihat dengan sudut matanya seekor tokek ukuran sedang, berada sekitar jarak 30 cm persis di belakang kepalanya. Sesaat kemudian, kami hanya bisa melongo dan terkagum-kagum, ketika seorang bapak pekerja kami mengelus kepala tokek tersebut, mencengkram rahangnya dengan gerakan cepat dan memindahkannya diiringi suara desisan keras tokek ke lahan kosong sebelah. Dan dengan santainya berkata, "Dipindahkan saja...kurus...kasihan, kekurangan makanan dia disini". Beliau bukan orang desa, tinggal di sebuah rumah kecil di linkungan padat, tapi seringkali terlihat begitu nyaman dengan alam sekitar dan segala penghuninya.
"...Nanti cepat-cepat saja selesainya! Jangan sampai kemalaman kita! Di hutan jam segituan pasti gelap gulita loh! ". Terlontar celotehan kami para pengurus potTrack saat menjadwal acara rapat kerja hari Minggu lalu. Keheningan, kegelapan dan wajah hutan di malam hari lebih dirasakan sebagai momok daripada disadari sebagai sebuah atmosfir mewah yang perlu dinikmati kami, si orang kota dengan segala hiruk pikuknya.
"Hujannnn... aduuh bikin ribet ....kacau deh acara hari ini... hmmm jadi malas pergi juga nih! ...Ayo cepat berlindung....bisa sakit kita nanti! ". Berbagai hujatan sering kita lontarkan pada hujan yang merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup di bumi. Tubuh yang sehat dan hati yang riang dirasa masih belum cukup untuk menikmati curah airnya. Hanya sebagian kecil umat manusia yang masih menunggu dan merayakan kedatangannya.
Suami saya harus melakukan perjalanan kerja ke desa 2-3x seminggu dan acapkali selama perjalanan bolak balik berhenti untuk menjawab tuntutan kebelet pipis. Salah satu ungkapan perasaan suami di stasiun-stasiun perhentiannya "...Bintang-bintangnya bergemerlapan. Langitnya terasa luas sekali dan dekat. Gelap dan angin bertiup kencang. Kecil sekali aku rasanya." Sejenak saja, kita mau membiarkan perasaan terbawa mengalir dengan alam, akan timbul di lubuk hati terdalam rasa syukur dan pujian kepada sang Pencipta. Kita pun mengakui keterbatasan diri.
Sungguh, hidup di Indonesia dengan alamnya yang masih cukup liar dan kekayaan keanekaragaman hayatinya adalah anugerah tiada terkira. Sayangnya, kita terus menghindarinya, mencoba dengan segala cara dan alasan untuk menjaga jarak sejauh-jauhnya, mengkungkung diri kita di dalam benteng kokoh tertutup, melumurkan diri dengan kimia untuk mengantisipasi gangguannya dan untuk kepentingan kita sesaat, mencoba memusnahkannya dengan segala senjata yang tersedia.
Semakin kita berjarak dengan alam...semakin tidak terbiasa dengannya... semakin merasa tidak nyaman di dalamnya ..dan kita menjadi takut bertemunya. Jauh, asing dan tidak peduli. Alam untuk kita menjadi abstrak.
Kita adalah bagian dari alam. Menghindari kodrat tersebut hanya akan memadamkan satu persatu bulir-bulir kehidupan kita. Berusaha hidup harmonis di dalam pangkuannya, saya percaya akan membuka segala kekuatan dan keajaibannya yang diperuntukan kepada kita, manusia.
*Artikel ini didukung oleh nature potTrack. Ditulis oleh Darmadi yang masih saja berjarak dengan alam.
"Hujannnn... aduuh bikin ribet ....kacau deh acara hari ini... hmmm jadi malas pergi juga nih! ...Ayo cepat berlindung....bisa sakit kita nanti! ". Berbagai hujatan sering kita lontarkan pada hujan yang merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup di bumi. Tubuh yang sehat dan hati yang riang dirasa masih belum cukup untuk menikmati curah airnya. Hanya sebagian kecil umat manusia yang masih menunggu dan merayakan kedatangannya.
Suami saya harus melakukan perjalanan kerja ke desa 2-3x seminggu dan acapkali selama perjalanan bolak balik berhenti untuk menjawab tuntutan kebelet pipis. Salah satu ungkapan perasaan suami di stasiun-stasiun perhentiannya "...Bintang-bintangnya bergemerlapan. Langitnya terasa luas sekali dan dekat. Gelap dan angin bertiup kencang. Kecil sekali aku rasanya." Sejenak saja, kita mau membiarkan perasaan terbawa mengalir dengan alam, akan timbul di lubuk hati terdalam rasa syukur dan pujian kepada sang Pencipta. Kita pun mengakui keterbatasan diri.
Sungguh, hidup di Indonesia dengan alamnya yang masih cukup liar dan kekayaan keanekaragaman hayatinya adalah anugerah tiada terkira. Sayangnya, kita terus menghindarinya, mencoba dengan segala cara dan alasan untuk menjaga jarak sejauh-jauhnya, mengkungkung diri kita di dalam benteng kokoh tertutup, melumurkan diri dengan kimia untuk mengantisipasi gangguannya dan untuk kepentingan kita sesaat, mencoba memusnahkannya dengan segala senjata yang tersedia.
Semakin kita berjarak dengan alam...semakin tidak terbiasa dengannya... semakin merasa tidak nyaman di dalamnya ..dan kita menjadi takut bertemunya. Jauh, asing dan tidak peduli. Alam untuk kita menjadi abstrak.
Kita adalah bagian dari alam. Menghindari kodrat tersebut hanya akan memadamkan satu persatu bulir-bulir kehidupan kita. Berusaha hidup harmonis di dalam pangkuannya, saya percaya akan membuka segala kekuatan dan keajaibannya yang diperuntukan kepada kita, manusia.
*Artikel ini didukung oleh nature potTrack. Ditulis oleh Darmadi yang masih saja berjarak dengan alam.